Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah meninjau kemungkinan pembatasan terhadap game online yang menampilkan kekerasan, menyusul insiden ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam rapat terbatas di Jakarta Selatan, Presiden Prabowo Subianto disebut meminta jajarannya mempelajari lebih dalam dampak sosial dan psikologis dari permainan digital seperti PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG).
PUBG menjadi sorotan utama karena sifatnya yang kompetitif dan menampilkan simulasi perang dengan senjata api. Game ini tidak hanya digandrungi oleh jutaan pemain muda di seluruh dunia, tetapi juga menjadi pusat perdebatan mengenai batas antara hiburan digital dan pengaruh perilaku agresif di dunia nyata.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa pemerintah berupaya menemukan solusi yang seimbang. “Presiden menginginkan kebijakan yang tidak menutup ruang inovasi, tapi tetap menjaga agar generasi muda tidak terpapar konten digital yang bisa memengaruhi perilaku mereka,” ujarnya.
Wacana pembatasan di Indonesia sebenarnya tidak muncul tiba-tiba. Sejumlah negara telah lebih dulu mengambil langkah tegas terhadap PUBG dengan alasan keamanan nasional, moralitas publik, serta kesehatan mental masyarakat.
Afghanistan termasuk negara yang paling awal melarang game ini. Badan telekomunikasi ATRA memutuskan untuk menangguhkan PUBG setelah melakukan kajian dengan para pakar pendidikan dan psikologi. Pemerintah menilai game tersebut memberi pengaruh sosial negatif, termasuk peningkatan agresivitas di kalangan anak muda.
Bangladesh mengikuti langkah serupa pada tahun 2022. Mahkamah Tinggi negara itu menyebut PUBG dan Free Fire sebagai “aplikasi destruktif” karena membuat anak-anak menjadi kecanduan dan menurunkan prestasi akademik. Pemerintah kemudian mengambil langkah tegas dengan memblokir kedua game tersebut secara nasional.
India menempuh jalur berbeda. Pemerintah negara itu memblokir PUBG pada tahun 2020 karena kekhawatiran terhadap keamanan data nasional, mengingat game tersebut terhubung dengan perusahaan asal China. Namun, Krafton asal Korea Selatan kemudian meluncurkan versi lokal Battlegrounds Mobile India (BGMI), yang berhasil lolos sensor setelah memenuhi sejumlah persyaratan privasi.
Di Nepal, PUBG sempat dilarang oleh pengadilan distrik Kathmandu setelah muncul gugatan publik mengenai dampak negatifnya terhadap anak-anak. Namun, Mahkamah Agung Nepal membatalkan keputusan itu karena dinilai melanggar hak kebebasan berekspresi.
Yordania melarang PUBG pada tahun 2019 karena alasan sosial. Pemerintah menilai game ini meningkatkan kasus perundungan dan perilaku agresif di sekolah.
Di China, negara asal pengembang PUBG, versi internasional tidak pernah dirilis secara resmi. Pemerintah menggantinya dengan versi lokal bernama Game for Peace, yang lebih sesuai dengan regulasi nasional. Dalam versi itu, unsur darah dan kematian dihilangkan, dan pesan moral seperti kerja sama tim lebih ditonjolkan.
Sementara itu, Pakistan sempat melarang PUBG setelah muncul banyak keluhan tentang gangguan kesehatan mental di kalangan pemain remaja. Setelah pengadilan menerima petisi dari komunitas gamer, larangan itu kemudian dicabut dan diganti dengan pembatasan jam bermain.
Situasi di negara-negara tersebut menjadi pertimbangan penting bagi Indonesia dalam menyusun kebijakan. Pemerintah menilai bahwa pembatasan total bukan satu-satunya solusi, melainkan perlu diiringi dengan pendidikan digital dan sistem pengawasan yang kuat.
Menurut pengamat teknologi informasi, Bambang Susilo, pemerintah sebaiknya tidak hanya melihat aspek negatif. “PUBG bisa jadi alat latihan strategi, komunikasi, dan kerja sama tim. Tapi jika dimainkan tanpa pengawasan, tentu bisa berdampak buruk,” ujarnya. Ia menyarankan agar pemerintah fokus pada edukasi digital, bukan sekadar pelarangan.
Dari sisi psikologi, para ahli juga menilai bahwa pengaruh game terhadap kekerasan masih bergantung pada banyak faktor. Menurut psikolog anak, Riri Handayani, kecanduan game tidak semata-mata karena kontennya, tetapi karena sistem penghargaan yang membuat pemain sulit berhenti. “Game seperti PUBG punya mekanisme yang membuat pemain terus ingin menang. Di sinilah pentingnya kontrol waktu dan bimbingan orang tua,” katanya.
Namun, di sisi lain, komunitas e-sport Indonesia berharap agar pemerintah tidak mengambil langkah yang bisa melemahkan industri. PUBG telah menjadi salah satu cabang utama dalam dunia e-sport, menyumbang pertumbuhan ekonomi digital dan membuka banyak lapangan kerja baru.
Menurut data Asosiasi Game Indonesia (AGI), nilai industri e-sport di Tanah Air telah melampaui Rp2 triliun per tahun, dengan ribuan pemain profesional, penyelenggara turnamen, dan kreator konten yang bergantung pada game semacam ini.
“Kalau game seperti PUBG dibatasi secara ekstrem, ekosistem e-sport akan terkena dampaknya. Harus ada pembeda antara game untuk hiburan dan e-sport profesional,” ujar pelatih e-sport nasional, Naufal Ardiansyah.
Sementara itu, beberapa kalangan akademisi menilai bahwa pemerintah perlu memperkuat kolaborasi lintas sektor. Pendidikan, psikologi, dan teknologi harus berjalan seiring agar anak-anak bisa menikmati hiburan digital tanpa mengorbankan keseimbangan hidup.
Beberapa negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang telah menerapkan sistem playtime control, di mana anak di bawah usia tertentu hanya diizinkan bermain pada jam tertentu. Model ini dianggap lebih efektif dibanding larangan total, karena tetap memberi ruang bagi pengembangan industri game.
Indonesia kini berada di persimpangan antara kebutuhan untuk melindungi anak-anak dan keharusan untuk mendukung ekonomi digital. Keputusan pemerintah nantinya akan menjadi contoh penting bagi negara lain yang menghadapi dilema serupa.
PUBG mungkin hanya satu game, tetapi perdebatan yang menyertainya mencerminkan tantangan besar dunia modern: bagaimana menjaga keseimbangan antara hiburan, teknologi, dan tanggung jawab sosial di era digital yang semakin luas.
